Sabtu, 27 Desember 2014

Disolusi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Laju disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya di masukkan ke dalam beaker yang berisi air atau di masukkan ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestin) obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi  deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut di berikan.
Dalam teori disolusi di anggap bahwa lapisan difusi air (aqueous diffusion layer) atau lapisan cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang berdisolusi.ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari C3 sampai C . di belakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase bulk.
Disolusi dari tablet dan granul, sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in vitro telah di utarakan, ini bisa di temukan dalam beberapa kupasan buku dan majalah-majalah.
Disolusi serbuk: hukum akar pangkat tiga dari Hixson crowell. Untuk suatu serbuk obat yang terdiri dari partikel-partikel yang berukuran sama, dapat di turunkan satu persamaan yang menyatakan laju disolusi berdasarkan akar pangkat tiga dari berat partikel-partikel tersebut. Jari-jari partikel tidak di anggap konstan.
Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh prosesabsorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obatdalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelumdi absorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi.
Penglepasan dari bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh di control oleh sifat fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk Kristal, ikatan protein, dan pKa adalah factor-faktor fisika kimia yang harus di pahami untuk mendesain system pemberian yang menunjukan karakteristik terkontrol atau karakteristik penglepasan terkendali (sustained-release).
Lepasnya suatu obat dari system pemberian meliputi factor disolusi dan difusi. Obat dalam matriks polimer. Obat serbuk didispersikan secara homogeny ke seluruh matriks dari suatu tablet yang dapat terkikis. Obat tersebut di anggap melarut dalam matriks, polimer dan berdifusi keluar dari permukaan matriks tersebut. Ketika obat di lepaskan, jarak untuk difusi menjadi bertambah besar. Batas yang terbentuk antara obat dan matriks kosong oleh karena itu mundur ke dalam tablet tersebut ketika obat di keluarkan.
B.     Tujuan praktikum
·         Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
·         Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat
·         Menerangkan factor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat .











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Teori Umum
Disolusi di definiskan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengetahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium asam atau basa ( lambung dan usus halus ) (Ansel,1989).
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo. Dkk, 2005).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Anief, 1997).
Dalam teori disolusi di anggap bahwa lapisan difusi air (aqueous diffusion layer) atau lapisan cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang berdisolusi.ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari C3 sampai C . di belakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase bulk. (martin, 1990)
Factor-faktor yang mempengaruhi (Martin, et. Al, 2008):
1.      Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh 5 % dapat di sebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat,
2.      Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 NHCL. Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan di gunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi “sink” sehingga kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh. Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3.      Kecepatan perputaran.
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4.      Ketepatan letak vertical poros.
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5.      Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6.      Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.
7.      Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupaka penyebabnya.
8.      Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya.
9.      Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan tablet.
10.  Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali (Martin, et. al., 2008).
Disolusi sistem dispersi padat dengan obat hidrofobik dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kelarutan obat dalam pembawa. Dalam hal ini, penambahan surfaktan dapat meningkatkan laju disolusi obat yang sukar larut dalam air. Salah satu surfaktan yang biasa digunakan dalam system dispersi padat adalah natrium lauril sulfat (Alatas, dkk, 2006).
Ketoprofen atau asam 2-(3-benzoilfenil) propionat merupakan suatu obat anti inflamasi nonsteroid yang digunakan secara luas untuk mengurangi nyeri, dan inflamasi yang disebabkan oleh beberapa kondisi seperti, osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. Ketoprofen praktis tidak larut dalam air .Kecepatan disolusi dan ketersediaan hayatinya rendah. Berbagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan hayati ketoprofen pada pemberian oral telah banyak dilakukan dalam bentuk dispersi padat. (Alatas,dkk, 2006)
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain (Martin et al, 1990) :
a.       Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaanefektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akandiperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam airjuga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebihmudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yangberbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentukamorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal.
b.      Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akansemakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel jugadapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
c.        Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapatmempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan mukaantara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secaralangsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofobseperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat denganmedium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleksdengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentukkompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusimenjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.




B.     Uraian Bahan
1.      Parasetamol ( Ditjen POM, 1979 : 37 )
Nama resmi           : ACETAMINOPHENUM
Nama lain              : parasetamol
RM/BM                 : C8H9NO2 / 151,16
Pemerian                 : hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan              : larut dalam 70 bagian air. Dalam 7 bagian etanol (95%) p, dalam 13 bagian aseton p, dalam 40 bagian gliserol p, dan dalam 9  Bagian propilenglikol p ; larut dalam larutan alkali hidroksida.
Penyimpanan         : dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya.
Kegunaan              : analgetikum, antipiretikum dan sebagai sampel .
2.      Air suling  (Ditjen POM, 1979 : 96)
Nama resmi           : AQUA DESTILLATA
Nama lain              : Aquadest
Rumus molekul     : H2O
Berat molekul        : 18,02
Pemerian               : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak   berasa
Penyimpanan         : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan              : Sebagai pelarut.
C.    Prosedur kerja
a.       Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat
·         Isilah bejana dengan 900 ml
·         Pasang thermostat pada suhu 30o C
·         Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan paracetamol dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
·         Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera di gantikan dengan 20 ml air.
·         Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang di peroleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan karena penggantian larutan dengan air suling.
·         Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40oC dan 50o C
·         Tabelkan hasil yang di peroleh
·         Buat kurva antara konsentrasi paracetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik)            
b.      Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat
·         Isilah bejana dengan 900 ml
·         Pasang thermostat pada suhu 30o C
·         Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan paracetamol dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
·         Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera di gantikan dengan 20 ml air.
·         Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang di peroleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan karena penggantian larutan dengan air suling.
·         Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 150 rpm
·         Tabelkan hasil yang di peroleh 
·         Buat kurva antara konsentrasi parasetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik)



BAB III
METODE KERJA
A.    Alat yang Digunakan
Alat dan bahan yang di gunakan dalam praktikum ini alat uji disolusi, gelas kimia, kuvet, labu takar,  pipet volum, spektrofotometer, dan vial.
B.     Bahan yang Digunakan
Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalag tablet paracetamol dan aquades.
C.    Langkah Percobaan
Pertama di hidupkan beaker selama 15 menit sampai terdengar ada bunyi kemudian di masukkan parasetamol ke dalam bejana dan pipet 5 ml air dalam bejana masukan ke dalam vial menit ke nol “0” lalu hidupkan motor penggerak dengan menekan enter   tunggu hingga terdengar bunyi kemudian di ambil lagi 5 ml di masukan ke vial menit ke 5 setelah itu masukkan 5 ml aquades ke dalam  beaker . ulangi lagi sampai pada menit ke 30 . setelah di dapatkan semua hasil sampai ke menit 30 . masukan cairan yang dalam vial ke dalam kuvet untuk di masukkan ke dalam spektrofotometer, di lakukan pengujian spektrofotometer sebanyak 3 kali pada setiap menit agar mendapatkan hasil yang akurat . setelah itu buatlah table adsorbannya, dan buatlah kurva antara konsentrasi parasetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu .













BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Tabel
         Kurvabaku PCT
Konsentrasi (ppm)
absorban
50
0,243
70
0,306
90
0,384
110
0,481
130
0,548
         a = 0,039            b = 0,004         r = 0,998
        


Disolusi PCT
Waktu
Beratobat
Beratobat
Beratobat
Bobotobat
%kadarobat
%kadarobat
%kadarobat
Kadar
Absorban
Absorban
Absorban
Absorban
(menit)
(mg)
(mg)
(mg)
rata"
900 ml
900 ml
900 ml
Rata"
(y)
(y)
(y)
Rata"

1
2
3

1
2
3

1
2
3

0
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
0,001
0,003
0,001
0,002
5
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
0,002
0,001
0,001
0,001
10
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
-0,004
-0,003
-0,003
-0,003
15
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
0,002
-0,002
0,001
0,000
20
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
-0,002
-0,003
0,007
0,001
25
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
0,007
0,008
0,005
0,007
30
500
500
500
500
55,556
55,556
55,556
55,556
0,004
0,001
0,001
0,002

a
b
Obatdalam
Obatdalam
Obatdalam
Rata"
Obatdalam
Obatdalam
Obatdalam
Rata"


5ml (ppm)
5ml (ppm)
5ml (ppm)
ppm
5 ml (mg)
5 ml (mg)
5 ml (mg)
(ppm)


1
2
3

1
2
3

0,039
0,004
-9,720
-9,210
-9,720
-9,550
-0,049
-0,046
-0,049
-0,048
0,039
0,004
-9,465
-9,720
-9,720
-9,635
-0,047
-0,049
-0,049
-0,048
0,039
0,004
-10,994
-10,739
-10,739
-10,824
-0,055
-0,054
-0,054
-0,054
0,039
0,004
-9,465
-10,484
-9,720
-9,890
-0,047
-0,052
-0,049
-0,049
0,039
0,004
-10,484
-10,739
-8,191
-9,805
-0,052
-0,054
-0,041
-0,049
0,039
0,004
-8,191
-7,936
-8,701
-8,276
-0,041
-0,040
-0,044
-0,041
0,039
0,004
-8,955
-9,720
-9,720
-9,465
-0,045
-0,049
-0,049
-0,047

%obat yang
%obat yang
%obat yang
Rata"
Faktor
Faktor
Faktor
Rata"
%kadar
%kadar
%kadar
Rata"
Terdisolusi
terdisolusi
terdisolusi

Koreksi
Koreksi
Koreksi

terkoreksi
terkoreksi
terkoreksi

1
2
3

1
2
3

1
2
3

-0,972
-0,921
-0,972
-0,955
0
0
0
0
-0,972
-0,921
-0,972
-0,955
-0,946
-0,972
-0,972
-0,963
-0,005
-0,005
-0,005
-0,005
-0,952
-0,977
-0,977
-0,969
-1,099
-1,074
-1,074
-1,082
-0,011
-0,011
-0,011
-0,011
-1,110
-1,084
-1,085
-1,093
-0,946
-1,048
-0,972
-0,989
-0,017
-0,016
-0,017
-0,017
-0,963
-1,065
-0,989
-1,006
-1,048
-1,074
-0,819
-0,980
-0,022
-0,022
-0,022
-0,022
-1,070
-1,096
-0,841
-1,003
-0,819
-0,794
-0,870
-0,828
-0,028
-0,028
-0,027
-0,028
-0,847
-0,822
-0,897
-0,855
-0,896
-0,972
-0,972
-0,946
-0,032
-0,033
-0,032
-0,032
-0,928
-1,005
-1,004
-0,979


%disolusi
%disolusi
%disolusi
Disolusi


Obat
Obat
obat
Rata"
C
log C
1
2
3



-1,750
-1,658
-1,750
-1,719
101,719
2,007
-1,713
-1,759
-1,759
-1,744
101,744
2,008
-1,998
-1,952
-1,952
-1,967
101,967
2,008
-1,734
-1,917
-1,780
-1,810
101,810
2,008
-1,927
-1,973
-1,514
-1,805
101,805
2,008
-1,525
-1,479
-1,614
-1,539
101,539
2,007
-1,670
-1,808
-1,806
-1,762
101,762
2,008
a =  2,008        b = -1,353x10-5            r = -0,2

B.     Perhitungan
Kecepatandisolusiparacetamol
1.      % paracetamoldalam 900 ml
=
= %
= 55,556 %
2.      Rata-rata Obatdalam 5 ml (ppm)
Untuk 0 menit      =  = -9,550
Untuk 5 menit      =  = -9,635
Untuk 10 menit    =  = -10,824
Untuk 15 menit    =  = -9,890
Untuk 20 menit    = = -9,635
Untuk 25 menit    = = -8,276
Untuk 30 menit    =  = -9,550


3.      Rata-rata Obatdalam 5 ml (mg)
Untuk 0 menit =  x 5 = -0,048 mg
Untuk 5 menit =  x 5 = --0,048mg
Untuk 10 menit =  x 5 = -0,054 mg   
Untuk 15 menit =  x 5 = -0,049 mg
Untuk 20 menit = x 5 = -0,049 mg
Untuk 25 menit=  x 5 = -0,041 mg
Untuk 30 menit =  x 5 = -0,047 mg
4.      %obat yang terdisolusi
Untuk 0 menit =  x 100 = -0,955 %
Untuk 5 menit =  x 100 = -0,963 %
Untuk 10 menit =  x 100 = -1,082 % 
Untuk 15 menit =  x 100 = -0,989 %
Untuk 20 menit =  x 100 = -0,980 %
Untuk 25 menit =  x 100 = -0,828 %
Untuk 30 menit =  x 100 = -0,946 %
5.      Faktor koreksi
 Untuk 0 menit :
           =
         
Untuk 5 menit :
           =
 -0,995 + 0 = -0,005
Untuk 10 menit :
           =
           ) -0,963 + (-0,005) = -0,011
     Untuk 15 menit :
          =
          -1,082 + (-0,011) = -0,017
Untuk 20 menit :
         =
          -0,989 + (-0,017) = -0,022

Untuk 25 menit :
             =
-0,980 + (-0,022) = -0,028
Untuk 30 menit :
             =
-0,828 + -0,028 = -0,032
6.      % Kadar terkoreksi
Untuk 0 menit :
        =  = -0,955 %
Untuk 5 menit :
       =  = -0,969 %
Untuk 10 menit :
       = = -1,093 %   
Untuk 15 menit :
      = = -1,006%   
Untuk 20 menit :
      = + (-0,022) = -1,003%   
Untuk 25 menit :
           = + (-0,028) = -0,855%   


Untuk 30 menit :
          = = -0,979%  
7.      % disolusiobat
Untuk 0 menit :
               =  x 100 = -1,719 %
Untuk 5 menit :
               =  x 100 = -1,744 %
Untuk 10 menit :
              =  x 100 = -1,967 %
Untuk 15 menit :
           =  x 100 = -1,810 %
Untuk 20 menit :
           =  x 100 = -1,805 %
Untuk 25 menit :
   =  x 100 = -1,539 %
Untuk 30 menit :
          =  x 100 = -1,762 %
TetapanLajuDisolusi (k)
K  = -b x 2,303
     = -(-1,353x10-5) x 2,303
     = 3,115x10-5mg/menit
Waktuparuh (t ½)
t ½    =
          =
          = 2,224x104menit


Disolusi adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat daalam media pelarut, atau dengan kata lain disolusi adalah jumlah zat aktif dari obat yang dapat larut dalam cairan tubuh. Sedangkan laju disolusi adalah laju zat aktif untuk melarut dalam media pelarut seingga apabila zat aktif memiliki kecepatan melarut yang cepat maka efek yang ditimbulkan juga cepat dan begitupun sebaliknya.
Kelarutan didefenisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif didefenisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk disperasi molekuler homogeny
Penglepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorbs dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari sistem biologis.
Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk kedalam lambung akan pecah, mengalami disentigrasi menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat aktif yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah granul-granul ini pecah zat aktif terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut dalam cairan lambung atau usus. Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada. Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung, yang pada umunya berkisar pada 2-3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut, proses reabsorbsi oleh usus dapat dimulai.peristiwa ini disebut sebagai pharmasheutican availability.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

 




                                         Difusi layer model (theori film)
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat  yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut
Keadaan steady state adalah keadaan keseimbangan setelah proses berjalan selama beberapa periode. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor dipindahkan dan diganti secara terus-menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar konsentrasi selalu rendah. Keadaan ini disebut keadaan sink (sink conditions).
Hukum Fick Pertama yang secara formal menyatakan bahwa fluksi dari materi yang berdifusi sebanding dengan gradien konsentrasi dan hukum Fick Kedua menyatakan bahwa laju perubahan komposisi sebanding dengan turunan kedua (Laplacian) konsentrasi.
Percobaan ini dilakukan untuk menentukan kecepatan disolusi dari paracetamol 500 mg dan mengetahui cara penggunaan alat uji disolusi. Adapun alat yang digunakan adalah spektrofotometer dan alat uji disolusi atau dikenal dengan tablet dissolution test apparatus.
Pada percobaan ini akan ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan penyusun utama  dalam tubuh manusia, jadi diumpamakan obat berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena paracetamol kelarutannya dalam air sangat baik. Adapun volume dari labu disolusi  yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang digunakan, dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia, adapun waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk dapat terdisolusi adalah 30 menit.
Untuk media disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi. Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian hingga berada dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi. Untuk memilih media disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya jika kelarutan zat aktif tidak dipenggaruhi oleh pH, maka sebagai media disolusi dipakai air suling. Sedangkan jika kelarutan zat aktif dipengaruhi pH, maka sebagai media disolusi dipakai cairan lambung buatan atau cairan usus buatan.
Pertama-tama alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan rpmnya, kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat dimasukkan ke dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit, tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat uji disolusi, maka larutan yang diambil dalam alat uji disolusi harus diganti dengan air steril sesuai dengan volume yang diambil. Dilakukan triplo agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan secara keseluruhan.
Pada waktu larutan diambil, harus diusahakan pada bagian yang sama dari cairan, yaitu tepat di samping keranjang sampel, sebab pada bagian tersebut zat aktif langsung keluar dari keranjang dan dapat dipipet dengan tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar. Dilakukan tiga kali agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan.
.Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan paracetamol akan terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Dari hasil yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa mula-mula paracetamol akan terdisolusi dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah cepat. Setelah terdisolusi sempurna zat aktif akan diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan memberikan efek terapi jika obat berada dalam tubuh.
Uji disolusi digunakan untuk menetukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi, untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enteric, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi.
Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam vial untuk menampung kemudian dimasukkan didalam kuvet lalu ditentukan nilai absorban sampel dan juga air steril dengan menggunakan spektrofotometer. Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan paracetamol berdisolusi dengan optimal  pada medium pelarut, Setelah airnya diambil, harus segera diganti (volume dipertahankan sebanyak 900 ml) dimaksudkan agar obat terlarut dalam pelarut yang volumenya konstan agar diperoleh hasil pengukuran yang tepat.
Ada dua tipe uji disolusi :
1)   Tipe 1 (Pengaduk Keranjang)
Pengaduk ini berberntuk keranjang silindris komponen batang logam dan keranjang yang merupakan bagian dari pengaduk terbuat dari baja tahan karat tipe 316 atau yang sejenis. Kecuali dinyatakan lain pada masing-masing mnografi, gunakan kasa 40 mesh. Dapat juga digunakan keranjang berlapis emas setebal 0.0001 inci (2.5 µm). Sediaan dimasukkan pada setiap keranjang yang kering pada tiap awal pengujian, jarak antara dasar dasar bagian dalam wadah dan keranjang adalah 25 mm ± 2mm selama pengujian berlangsung. Metode ini sering digunakan pada obat yang bersalut, Agar supaya mudah menghancurkan obatnya serta agar tersalutnya tidak keluar.
2)   Tipe 2 (Pengaduk Dayung)
Alat pengaduk ini sama dengan alat tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi demikian hingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung, daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalit dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Jenis ini digunakan pada cairan kental dimana endapan pada dinding dapat terbentuk dan juga digunakan untuk meningkatkan transfer panas dari dan ke dinding tangki. Bagaimanapun jenis ini adalah pencampuran yang buruk. Pengaduk dayung sering digunakan untuk obat yang tidak bersalut.
     Prinsip kerja spektrofotometer adalah menggunakan instrumen obat atau molekul dengan radiasi elektromagnetik, yang energik nya sesuai. Interaksi tersebut akan meningkatkan energi potensi elektron pada tingkat aksitan. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada suatu macam gugus maka akan terjadi suatu absorbsi yang merupakan garis spektrum.
Hasil yang diperoleh pada percobaan untuk data kurva baku pada 50 Rpm absorbannya 0,243, 70 Rpm absorbannya 0,306, 90 Rpm absorbannya 0,384, 110 Rpm absorbannya 0,481, 130 Rpm absorbannya 0,548, dan untuk 200 Rpm absorbannya 0.813. Konstanta laju disolusi paracetamol yaitu 3,115x10-5 mg/menitmg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk berdisolusi maka semakin tinggi pula konsentrasi (Kadar) zat tersebut dalam cairan (media pelarut).
Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil laju disolusi obat paracetamol yaitu sebesar 3,115x10-5 mg/menit.
Hasil perhitungan kecepatan disolusi paracetamol dalam 900 mL adalah 55,56 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan disolusi paracetamol yang dilakukan pada saat praktikum barbanding terbalik dengan literature (Ditjen POM, 1994) yaitu dengan media disolusi dan serapan larutan baku paracetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 243 nm. Toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 %
Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan referensi, hal ini disebabkan beberapa faktor kesalahan antara lain: kesalahan dalam melakukan uji disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti.
Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu penentuan bentuk-bentuk sediaan yang akan dibuat sesuai dengan sifat zat aktif sehingga dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubu sehingga dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubuh sehingga cepat diabsorbsi dan cepat memberikan efek farmakologinya.







BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari hasil percobaan di peroleh data absorban menit ke 0” = 0,001, 0,001, 0,003, menit ke 5’=  0,002, 0,001, 0,001 menit ke 10’= -0,004, -0,003,- 0,003 menit ke 15’= 0,002, --0,002, 0,001 menit ke 20’= -0,002, -0,003, 0,007 menit ke 25’= 0,007, 0,008, 0,005 menit ke 30’= 0,004, 0,001, 0,001
B.     Saran
Pada waktu praktikum sebaiknya di gunakan juga metode keranjang agar praktikan lebih dapat memahami bagaimana metode dayung (paddle) dan metode keranjang (basket).





DAFTAR PUSTAKA
Ansel, C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida
Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Alatas, Fikri dkk. 2006. Pengaruh Konsentrasi PEG 4000 Terhadap Laju Disolusi
Ketoprofen Dalam Sistem Disperse Padat Ketoprofen-PEG 4000. Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 57 – 62, 2006.
Ditjen POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.                     

Martin, Alfred et al. 1990.Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia

Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia
Press. Jakarta. 

Sutriyo dkk. 2005. Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi Furosemid
Dalam Sistem Dispersi Padat. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.1, April 2005, 30 – 42
           










Tidak ada komentar:

Posting Komentar