BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laju
disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya di masukkan ke dalam
beaker yang berisi air atau di masukkan ke dalam saluran cerna (saluran
gastrointestin) obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut polimer, matriks padat juga mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan
menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
di berikan.
Dalam
teori disolusi di anggap bahwa lapisan difusi air (aqueous diffusion layer)
atau lapisan cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang berdisolusi.ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut
stasioner di dalam mana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi
dari C3 sampai C . di belakang lapisan difusi statis tersebut, pada
harga x yang lebih besar dari h, terjadi
percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C, pada
seluruh fase bulk.
Disolusi
dari tablet dan granul, sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan
granul secara in vitro telah di utarakan, ini bisa di temukan dalam beberapa
kupasan buku dan majalah-majalah.
Disolusi
serbuk: hukum akar pangkat tiga dari Hixson crowell. Untuk suatu serbuk obat
yang terdiri dari partikel-partikel yang berukuran sama, dapat di turunkan satu
persamaan yang menyatakan laju disolusi berdasarkan akar pangkat tiga dari
berat partikel-partikel tersebut. Jari-jari partikel tidak di anggap konstan.
Kadar
obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh prosesabsorpsi dan kadar
obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obatdalam bentuk sediaan
padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelumdi
absorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi.
Penglepasan
dari bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh di control oleh sifat
fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan
dalam air, ukuran molekul, bentuk Kristal, ikatan protein, dan pKa adalah
factor-faktor fisika kimia yang harus di pahami untuk mendesain system
pemberian yang menunjukan karakteristik terkontrol atau karakteristik
penglepasan terkendali (sustained-release).
Lepasnya
suatu obat dari system pemberian meliputi factor disolusi dan difusi. Obat
dalam matriks polimer. Obat serbuk didispersikan secara homogeny ke seluruh
matriks dari suatu tablet yang dapat terkikis. Obat tersebut di anggap melarut
dalam matriks, polimer dan berdifusi keluar dari permukaan matriks tersebut.
Ketika obat di lepaskan, jarak untuk difusi menjadi bertambah besar. Batas yang
terbentuk antara obat dan matriks kosong oleh karena itu mundur ke dalam tablet
tersebut ketika obat di keluarkan.
B. Tujuan praktikum
·
Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
·
Menggunakan alat penentuan kecepatan
disolusi suatu zat
·
Menerangkan factor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Teori
Umum
Disolusi di definiskan
sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat
ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengetahui seberapa
banyak obat yang melarut dalam medium asam atau basa ( lambung dan usus halus )
(Ansel,1989).
Disolusi
merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan
suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah
satu tahapan penentu (rate
limiting step) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam saluran
cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri. Peningkatan laju disolusi
obat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo. Dkk, 2005).
Kecepatan disolusi
sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem
penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang
dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan
besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka
absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk,
seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi
sistemik (Anief, 1997).
Dalam teori disolusi di
anggap bahwa lapisan difusi air (aqueous diffusion layer) atau lapisan cairan
stagnan dengan ketebalan h ada pada
permukaan zat padat yang sedang berdisolusi.ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana
molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari C3 sampai
C . di belakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar
dari h, terjadi percampuran dalam
larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase
bulk. (martin, 1990)
Factor-faktor
yang mempengaruhi (Martin, et. Al, 2008):
1. Suhu
Suhu
akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh 5 % dapat di sebabkan
oleh adanya perbedaan suhu satu derajat,
2. Medium
Media
yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 NHCL. Dalam beberapa hal zat tidak
larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau
surfaktan di gunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu
kondisi “sink” sehingga kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan penentu
dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat
aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar
daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh. Masalah yang mungkin
mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara
yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga
dapat menaikkan kecepatan melarut.
3. Kecepatan
perputaran.
Kenaikan
dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan
adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang
dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata
bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk
mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih
diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4. Ketepatan
letak vertical poros.
Disini
termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan
ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang
sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan
pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5. Goyangnya
poros
Goyangnya
poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan
pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan
bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang
timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana
vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah
vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab
dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati
akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.
7. Gangguan
pola aliran
Setiap
hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan
hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada
ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupaka penyebabnya.
8. Posisi
pengambil cuplikan
Posisi
yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak
dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus
diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan
merupakan bagian yang paling baik pengadukannya.
9. Formulasi
bentuk sediaan
Penting
untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu
disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan
oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya
berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih
sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat
penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan tablet.
10. Kalibrasi
alat disolusi
Kalibrasi
alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan
salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita
melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet
khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di
pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm.
Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali
(Martin, et. al., 2008).
Disolusi sistem dispersi padat dengan
obat hidrofobik dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kelarutan obat dalam
pembawa. Dalam hal ini, penambahan surfaktan dapat meningkatkan laju disolusi
obat yang sukar larut dalam air. Salah satu surfaktan yang biasa digunakan
dalam system dispersi padat adalah natrium lauril sulfat (Alatas, dkk, 2006).
Ketoprofen atau asam 2-(3-benzoilfenil) propionat
merupakan suatu obat anti inflamasi nonsteroid yang digunakan secara luas untuk
mengurangi nyeri, dan inflamasi yang disebabkan oleh beberapa kondisi seperti,
osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. Ketoprofen praktis tidak larut dalam
air .Kecepatan disolusi dan ketersediaan hayatinya rendah. Berbagai upaya untuk
meningkatkan ketersediaan hayati ketoprofen pada pemberian oral telah banyak
dilakukan dalam bentuk dispersi padat. (Alatas,dkk, 2006)
Laju disolusi obat secara in vitro
dipengaruhi beberapa faktor, antara lain (Martin et al, 1990) :
a. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh
besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaanefektif dapat diperbesar dengan
memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akandiperbesar karena kelarutan
terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam airjuga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebihmudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat
membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan
yangberbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal
secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada
bentukamorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi
dari pada bentuk kristal.
b. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan
dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan
kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akansemakin
cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan Selain itu temperatur,
viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel jugadapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
c. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang
digunakan pada sediaan obat dapatmempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi
tegangan mukaantara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun
bereaksi secaralangsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang
bersifat hidrofobseperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka
obat denganmedium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk
kompleksdengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentukkompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusimenjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat
yang diabsorpsi.
B. Uraian Bahan
1. Parasetamol ( Ditjen POM, 1979 : 37
)
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : parasetamol
RM/BM : C8H9NO2 / 151,16
Pemerian : hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau ;
rasa pahit.
Kelarutan : larut dalam 70 bagian air. Dalam 7 bagian etanol (95%)
p, dalam 13 bagian aseton p, dalam 40 bagian gliserol p, dan dalam 9 Bagian propilenglikol p ; larut dalam larutan
alkali hidroksida.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya.
Kegunaan : analgetikum, antipiretikum dan sebagai sampel .
2.
Air suling (Ditjen POM, 1979 : 96)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain :
Aquadest
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02
Pemerian : Cairan
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa
Penyimpanan : Dalam wadah
tertutup baik
Kegunaan : Sebagai
pelarut.
C. Prosedur kerja
a.
Pengaruh suhu terhadap
kecepatan disolusi zat
·
Isilah bejana dengan 900 ml
·
Pasang thermostat pada suhu
30o C
·
Jika suhu air di dalam
bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan paracetamol dan hidupkan
motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
·
Ambil sebanyak 20 ml air
dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit setelah pengadukan.
Setiap selesai pengambilan sampel, segera di gantikan dengan 20 ml air.
·
Tentukan kadar asam
salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan
NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang
di peroleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan karena penggantian
larutan dengan air suling.
·
Lakukan percobaan yang sama
untuk suhu 40oC dan 50o C
·
Tabelkan hasil yang di
peroleh
·
Buat kurva antara
konsentrasi paracetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu
(dalam satu grafik)
b.
Pengaruh kecepatan
pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat
·
Isilah bejana dengan 900 ml
·
Pasang thermostat pada suhu
30o C
·
Jika suhu air di dalam
bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan paracetamol dan hidupkan
motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
·
Ambil sebanyak 20 ml air
dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit setelah
pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera di gantikan dengan 20 ml
air.
·
Tentukan kadar asam
salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan
NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang
di peroleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan karena penggantian
larutan dengan air suling.
·
Lakukan percobaan yang sama
untuk kecepatan 100 dan 150 rpm
·
Tabelkan hasil yang di
peroleh
·
Buat kurva antara
konsentrasi parasetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu
(dalam satu grafik)
BAB
III
METODE
KERJA
A. Alat yang Digunakan
Alat dan
bahan yang di gunakan dalam praktikum ini alat uji disolusi, gelas kimia,
kuvet, labu takar, pipet volum,
spektrofotometer, dan vial.
B. Bahan yang Digunakan
Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalag tablet
paracetamol dan aquades.
C.
Langkah Percobaan
Pertama di hidupkan beaker
selama 15 menit sampai terdengar ada bunyi kemudian di masukkan parasetamol ke
dalam bejana dan pipet 5 ml air dalam bejana masukan ke dalam vial menit ke nol
“0” lalu hidupkan motor penggerak dengan menekan enter tunggu hingga terdengar bunyi kemudian di
ambil lagi 5 ml di masukan ke vial menit ke 5 setelah itu masukkan 5 ml aquades
ke dalam beaker . ulangi lagi sampai
pada menit ke 30 . setelah di dapatkan semua hasil sampai ke menit 30 . masukan
cairan yang dalam vial ke dalam kuvet untuk di masukkan ke dalam
spektrofotometer, di lakukan pengujian spektrofotometer sebanyak 3 kali pada
setiap menit agar mendapatkan hasil yang akurat . setelah itu buatlah table
adsorbannya, dan buatlah kurva antara konsentrasi parasetamol yang di peroleh
dengan waktu untuk setiap satuan waktu .
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tabel
Kurvabaku PCT
Konsentrasi (ppm)
|
absorban
|
50
|
0,243
|
70
|
0,306
|
90
|
0,384
|
110
|
0,481
|
130
|
0,548
|
a = 0,039 b
= 0,004 r = 0,998

Disolusi
PCT
Waktu
|
Beratobat
|
Beratobat
|
Beratobat
|
Bobotobat
|
%kadarobat
|
%kadarobat
|
%kadarobat
|
Kadar
|
Absorban
|
Absorban
|
Absorban
|
Absorban
|
(menit)
|
(mg)
|
(mg)
|
(mg)
|
rata"
|
900 ml
|
900 ml
|
900 ml
|
Rata"
|
(y)
|
(y)
|
(y)
|
Rata"
|
|
1
|
2
|
3
|
|
1
|
2
|
3
|
|
1
|
2
|
3
|
|
0
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
0,001
|
0,003
|
0,001
|
0,002
|
5
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
0,002
|
0,001
|
0,001
|
0,001
|
10
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
-0,004
|
-0,003
|
-0,003
|
-0,003
|
15
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
0,002
|
-0,002
|
0,001
|
0,000
|
20
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
-0,002
|
-0,003
|
0,007
|
0,001
|
25
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
0,007
|
0,008
|
0,005
|
0,007
|
30
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
55,556
|
0,004
|
0,001
|
0,001
|
0,002
|
a
|
b
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
Rata"
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
Rata"
|
|
|
5ml (ppm)
|
5ml (ppm)
|
5ml (ppm)
|
ppm
|
5 ml (mg)
|
5 ml (mg)
|
5 ml (mg)
|
(ppm)
|
|
|
1
|
2
|
3
|
|
1
|
2
|
3
|
|
0,039
|
0,004
|
-9,720
|
-9,210
|
-9,720
|
-9,550
|
-0,049
|
-0,046
|
-0,049
|
-0,048
|
0,039
|
0,004
|
-9,465
|
-9,720
|
-9,720
|
-9,635
|
-0,047
|
-0,049
|
-0,049
|
-0,048
|
0,039
|
0,004
|
-10,994
|
-10,739
|
-10,739
|
-10,824
|
-0,055
|
-0,054
|
-0,054
|
-0,054
|
0,039
|
0,004
|
-9,465
|
-10,484
|
-9,720
|
-9,890
|
-0,047
|
-0,052
|
-0,049
|
-0,049
|
0,039
|
0,004
|
-10,484
|
-10,739
|
-8,191
|
-9,805
|
-0,052
|
-0,054
|
-0,041
|
-0,049
|
0,039
|
0,004
|
-8,191
|
-7,936
|
-8,701
|
-8,276
|
-0,041
|
-0,040
|
-0,044
|
-0,041
|
0,039
|
0,004
|
-8,955
|
-9,720
|
-9,720
|
-9,465
|
-0,045
|
-0,049
|
-0,049
|
-0,047
|
%obat yang
|
%obat yang
|
%obat yang
|
Rata"
|
Faktor
|
Faktor
|
Faktor
|
Rata"
|
%kadar
|
%kadar
|
%kadar
|
Rata"
|
Terdisolusi
|
terdisolusi
|
terdisolusi
|
|
Koreksi
|
Koreksi
|
Koreksi
|
|
terkoreksi
|
terkoreksi
|
terkoreksi
|
|
1
|
2
|
3
|
|
1
|
2
|
3
|
|
1
|
2
|
3
|
|
-0,972
|
-0,921
|
-0,972
|
-0,955
|
0
|
0
|
0
|
0
|
-0,972
|
-0,921
|
-0,972
|
-0,955
|
-0,946
|
-0,972
|
-0,972
|
-0,963
|
-0,005
|
-0,005
|
-0,005
|
-0,005
|
-0,952
|
-0,977
|
-0,977
|
-0,969
|
-1,099
|
-1,074
|
-1,074
|
-1,082
|
-0,011
|
-0,011
|
-0,011
|
-0,011
|
-1,110
|
-1,084
|
-1,085
|
-1,093
|
-0,946
|
-1,048
|
-0,972
|
-0,989
|
-0,017
|
-0,016
|
-0,017
|
-0,017
|
-0,963
|
-1,065
|
-0,989
|
-1,006
|
-1,048
|
-1,074
|
-0,819
|
-0,980
|
-0,022
|
-0,022
|
-0,022
|
-0,022
|
-1,070
|
-1,096
|
-0,841
|
-1,003
|
-0,819
|
-0,794
|
-0,870
|
-0,828
|
-0,028
|
-0,028
|
-0,027
|
-0,028
|
-0,847
|
-0,822
|
-0,897
|
-0,855
|
-0,896
|
-0,972
|
-0,972
|
-0,946
|
-0,032
|
-0,033
|
-0,032
|
-0,032
|
-0,928
|
-1,005
|
-1,004
|
-0,979
|
%disolusi
|
%disolusi
|
%disolusi
|
Disolusi
|
|
|
Obat
|
Obat
|
obat
|
Rata"
|
C
|
log C
|
1
|
2
|
3
|
|
|
|
-1,750
|
-1,658
|
-1,750
|
-1,719
|
101,719
|
2,007
|
-1,713
|
-1,759
|
-1,759
|
-1,744
|
101,744
|
2,008
|
-1,998
|
-1,952
|
-1,952
|
-1,967
|
101,967
|
2,008
|
-1,734
|
-1,917
|
-1,780
|
-1,810
|
101,810
|
2,008
|
-1,927
|
-1,973
|
-1,514
|
-1,805
|
101,805
|
2,008
|
-1,525
|
-1,479
|
-1,614
|
-1,539
|
101,539
|
2,007
|
-1,670
|
-1,808
|
-1,806
|
-1,762
|
101,762
|
2,008
|
a = 2,008 b
= -1,353x10-5 r =
-0,2
B.
Perhitungan
Kecepatandisolusiparacetamol
1. %
paracetamoldalam 900 ml
= 

=
%

= 55,556 %
2. Rata-rata Obatdalam 5 ml (ppm)
Untuk 0 menit =
= -9,550

Untuk
5 menit =
= -9,635

Untuk
10 menit =
= -10,824

Untuk
15 menit =
= -9,890

Untuk
20 menit =
= -9,635

Untuk
25 menit =
= -8,276

Untuk
30 menit =
= -9,550

3. Rata-rata Obatdalam 5 ml (mg)
Untuk
0 menit =
x 5 = -0,048 mg

Untuk
5 menit =
x 5 = --0,048mg

Untuk
10 menit =
x 5 = -0,054 mg

Untuk 15 menit =
x 5 = -0,049
mg

Untuk
20 menit =
x 5 = -0,049
mg

Untuk
25 menit=
x 5 = -0,041 mg

Untuk
30 menit =
x 5 = -0,047
mg

4. %obat
yang terdisolusi
Untuk
0 menit =
x 100 = -0,955 %

Untuk
5 menit =
x 100 = -0,963
%

Untuk
10 menit =
x 100 = -1,082
%

Untuk
15 menit =
x 100 = -0,989
%

Untuk
20 menit =
x 100 = -0,980
%

Untuk 25 menit =
x 100 = -0,828
%

Untuk 30 menit =
x 100 = -0,946
%

5. Faktor
koreksi
Untuk 0 menit :
= 


Untuk 5 menit :
= 


Untuk 10 menit :
= 


Untuk 15 menit :
= 


Untuk 20 menit :
= 


Untuk 25 menit :
= 


Untuk 30 menit :
= 


6. %
Kadar terkoreksi
Untuk 0 menit :
=
= -0,955
%

Untuk 5 menit :
=
= -0,969
%

Untuk 10 menit :
=
= -1,093 %

Untuk
15 menit :
=
= -1,006%

Untuk 20 menit :
=
+ (-0,022) = -1,003%

Untuk 25 menit :
=
+ (-0,028)
=
-0,855%

Untuk 30 menit :
=
= -0,979%

7. %
disolusiobat
Untuk 0 menit :
=
x 100 = -1,719
%

Untuk 5 menit :
=
x 100 = -1,744
%

Untuk 10 menit :
=
x 100 = -1,967
%

Untuk 15 menit :
=
x 100 = -1,810
%

Untuk 20 menit :
=
x 100 = -1,805
%

Untuk 25 menit :
=
x 100 = -1,539
%

Untuk
30 menit :
=
x 100 = -1,762
%

TetapanLajuDisolusi
(k)
K = -b x 2,303
= -(-1,353x10-5) x 2,303
= 3,115x10-5mg/menit
Waktuparuh
(t ½)
t
½ = 

=

= 2,224x104menit

Disolusi
adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat daalam media
pelarut, atau dengan kata lain disolusi adalah jumlah zat aktif dari obat yang
dapat larut dalam cairan tubuh. Sedangkan laju disolusi adalah laju zat aktif
untuk melarut dalam media pelarut seingga apabila zat aktif memiliki kecepatan
melarut yang cepat maka efek yang ditimbulkan juga cepat dan begitupun sebaliknya.
Kelarutan
didefenisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam
larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif didefenisikan
sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk disperasi
molekuler homogeny
Penglepasan dari
bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorbs dalam tubuh dikontrol oleh sifat
fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika
kimia dan fisiologis dari sistem biologis.
Mekanisme disolusi suatu obat khususnya
tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk kedalam lambung akan pecah,
mengalami disentigrasi menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat aktif
yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah granul-granul ini pecah
zat aktif terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut dalam cairan
lambung atau usus. Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada. Hal ini
ditentukan oleh waktu pengosongan lambung, yang pada umunya berkisar pada 2-3
jam setelah makan. Baru setelah obat larut, proses reabsorbsi oleh usus dapat
dimulai.peristiwa ini disebut sebagai pharmasheutican availability.
Adapun
mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Difusi
layer model (theori film)
Pada
waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada
permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh
obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini
dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat
keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis
serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan
difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat
dan proses absorbsi tersebut berlanjut
Keadaan steady state adalah keadaan
keseimbangan setelah proses berjalan selama beberapa periode. Dalam percobaan difusi, larutan dalam
kompartemen reseptor dipindahkan dan diganti secara terus-menerus dengan
pelarut baru untuk menjaga agar konsentrasi selalu rendah. Keadaan ini disebut
keadaan sink (sink conditions).
Hukum
Fick Pertama yang secara formal menyatakan bahwa fluksi dari materi yang
berdifusi sebanding dengan gradien konsentrasi dan hukum Fick Kedua menyatakan
bahwa laju perubahan komposisi sebanding dengan turunan kedua (Laplacian)
konsentrasi.
Percobaan ini
dilakukan untuk menentukan kecepatan disolusi dari paracetamol
500 mg dan mengetahui cara penggunaan alat uji disolusi. Adapun alat yang
digunakan adalah spektrofotometer dan alat uji disolusi atau dikenal dengan
tablet dissolution test apparatus.
Pada percobaan ini akan ditentukan
tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam media air suling, dimana
besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi atau kelarutan
dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air suling sebagai media
disolusi karena air merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh manusia, jadi diumpamakan obat
berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena paracetamol kelarutannya
dalam air sangat baik. Adapun volume dari labu disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini
dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan
masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga
mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang digunakan, dipertahankan 37° C,
dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia. Hal ini
sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia, adapun waktu
yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk
dapat terdisolusi adalah 30 menit.
Untuk media
disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi.
Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian
hingga berada dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing-masing
monografi. Untuk memilih media disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya
jika kelarutan zat aktif tidak dipenggaruhi oleh pH, maka sebagai media
disolusi dipakai air suling. Sedangkan jika kelarutan zat aktif dipengaruhi pH,
maka sebagai media disolusi dipakai cairan lambung buatan atau cairan usus
buatan.
Pertama-tama alat uji disolusi
diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan rpmnya, kemudian
setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi
maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat dimasukkan
ke dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu 0, 5,
10, 15, 20, 25, dan 30 menit, tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat
uji disolusi, maka larutan yang diambil dalam alat uji disolusi harus diganti
dengan air steril sesuai dengan volume yang diambil. Dilakukan triplo agar
hasil yang diperoleh dapat dibandingkan secara keseluruhan.
Pada waktu larutan diambil, harus
diusahakan pada bagian yang sama dari cairan, yaitu tepat di samping keranjang
sampel, sebab pada bagian tersebut zat aktif langsung keluar dari keranjang dan
dapat dipipet dengan tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda
dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar. Dilakukan tiga
kali agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan.
.Pemipetan dilakukan pada waktu yang
berbeda-beda untuk melihat kapan paracetamol akan terdisolusi dengan optimal
pada media pelarut. Dari hasil yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa mula-mula
paracetamol akan terdisolusi dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah
cepat. Setelah terdisolusi sempurna zat aktif akan diabsorbsi, dimetabolisme,
dan kemudian akan memberikan efek terapi jika obat berada dalam tubuh.
Uji disolusi digunakan untuk menetukan
kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing
monografi, untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan
bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul
gelatin lunak kecuali bila dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan
dalam masing-masing monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus
dinyatakan untuk sediaan bersalut enteric, maka digunakan cara pengujian untuk
sediaan lepas lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat, kecuali
dinyatakan lain dalam masing-masing monografi.
Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam
vial untuk menampung kemudian dimasukkan didalam kuvet lalu ditentukan nilai
absorban sampel dan juga air steril dengan menggunakan spektrofotometer.
Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan
paracetamol berdisolusi dengan optimal
pada medium pelarut, Setelah airnya diambil, harus segera diganti
(volume dipertahankan sebanyak 900 ml) dimaksudkan agar obat terlarut dalam
pelarut yang volumenya konstan agar diperoleh hasil pengukuran yang tepat.
Ada dua tipe uji disolusi :
1) Tipe 1 (Pengaduk
Keranjang)
Pengaduk ini berberntuk keranjang
silindris komponen batang logam dan keranjang
yang merupakan bagian dari pengaduk terbuat dari
baja tahan karat tipe 316 atau yang sejenis. Kecuali dinyatakan lain pada
masing-masing mnografi, gunakan kasa 40 mesh. Dapat juga digunakan keranjang
berlapis emas setebal 0.0001 inci (2.5 µm). Sediaan dimasukkan pada setiap
keranjang yang kering pada tiap awal pengujian, jarak antara dasar dasar bagian
dalam wadah dan keranjang adalah 25 mm ± 2mm selama pengujian berlangsung. Metode ini sering digunakan pada
obat yang bersalut, Agar supaya mudah menghancurkan obatnya serta agar
tersalutnya tidak keluar.
2) Tipe 2 (Pengaduk
Dayung)
Alat pengaduk ini sama dengan alat
tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan
batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi demikian hingga sumbunya
tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar
dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang
sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian
dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung, daun dan batang
logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalit dengan suatu penyalut inert
yang sesuai. Jenis ini digunakan
pada cairan kental dimana endapan pada dinding dapat terbentuk dan juga
digunakan untuk meningkatkan transfer panas dari dan ke dinding tangki.
Bagaimanapun jenis ini adalah pencampuran yang buruk. Pengaduk dayung sering
digunakan untuk obat yang tidak bersalut.
Prinsip kerja spektrofotometer adalah menggunakan
instrumen obat atau molekul dengan radiasi elektromagnetik, yang energik nya
sesuai. Interaksi tersebut akan meningkatkan energi potensi elektron pada
tingkat aksitan. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya terjadi
transisi elektronik pada suatu macam gugus maka akan terjadi suatu absorbsi
yang merupakan garis spektrum.
Hasil yang diperoleh pada percobaan untuk data kurva baku
pada 50 Rpm absorbannya 0,243, 70 Rpm absorbannya 0,306, 90 Rpm absorbannya 0,384, 110 Rpm absorbannya 0,481, 130 Rpm absorbannya 0,548, dan untuk 200
Rpm absorbannya 0.813. Konstanta
laju disolusi paracetamol yaitu 3,115x10-5 mg/menitmg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak
waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk berdisolusi maka semakin tinggi
pula konsentrasi (Kadar) zat tersebut dalam cairan (media pelarut).
Dari
percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil laju disolusi obat paracetamol
yaitu sebesar 3,115x10-5
mg/menit.
Hasil
perhitungan kecepatan disolusi paracetamol dalam 900 mL adalah 55,56 %. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan disolusi paracetamol yang
dilakukan pada saat praktikum barbanding terbalik dengan literature (Ditjen
POM, 1994) yaitu dengan media disolusi dan serapan larutan baku paracetamol
BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang
243 nm. Toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 %
Ini
menunjukkan adanya ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan referensi, hal
ini disebabkan beberapa faktor kesalahan antara lain: kesalahan dalam melakukan
uji disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti.
Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu penentuan
bentuk-bentuk sediaan yang akan dibuat sesuai dengan sifat zat aktif sehingga
dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubu sehingga dicapai kecepatan
pelarutan dalam cairan tubuh sehingga cepat diabsorbsi dan cepat memberikan
efek farmakologinya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil percobaan di peroleh data absorban menit ke 0” = 0,001,
0,001, 0,003, menit ke 5’= 0,002, 0,001,
0,001 menit ke 10’= -0,004, -0,003,- 0,003 menit ke 15’= 0,002, --0,002, 0,001
menit ke 20’= -0,002, -0,003, 0,007 menit ke 25’= 0,007, 0,008, 0,005 menit ke
30’= 0,004, 0,001, 0,001
B.
Saran
Pada waktu praktikum sebaiknya di gunakan juga metode keranjang
agar praktikan lebih dapat memahami bagaimana metode dayung (paddle) dan metode
keranjang (basket).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel,
C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida
Ibrahim. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Anief, M. 1997.
Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Alatas,
Fikri dkk. 2006. Pengaruh Konsentrasi PEG 4000 Terhadap Laju Disolusi
Ketoprofen
Dalam Sistem Disperse Padat Ketoprofen-PEG 4000.
Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 57 – 62, 2006.
Ditjen
POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Martin,
Alfred et al. 1990.Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit
Universitas
Indonesia
Martin,
A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas
Indonesia
Press. Jakarta.
Sutriyo dkk. 2005. Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi Furosemid
Dalam
Sistem Dispersi Padat. Majalah
Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.1, April 2005, 30 – 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar